Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian Kualitatif



Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian Kualitatif

Tugas Metodologi Penelitian Sosial Kualitatif

Di susun Oleh :

Mar’atul Hanifah
(14030111130040)


PROGRAM STUDI S-I ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK (FISIP)
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2012

Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam Penelitian Kualitatif

A.    PERBEDAAN KUANTITATIF / KUALITATIF
Secara historis, muncul penekanan kuat pada kuantifikasi dalam ilmu pengetahuan. Matematika sering kali diistilahkan sebagai ‘induk ilmu pengetahuan,’ dan ilmu-ilmu pengetahuan seperti fisika dan kimia yang terlebih-lebih cocok dengan kuantifikasi lazimnya dikenal sebagai ‘keras.’ Bidang-bidang keilmuan yang kurang dapat dikuantifikasi, seperti biologi dan terutama ilmu-ilmu sosial, dikenal sebagai ‘lunak,’ bukan dengan maksud meremehkan melainkan sekadar menunjukkan ketidaktepatan (dugaan) dan sifat kurang dapat diandalkan.
‘Pandangan yang diterima’ tentang ilmu memfokuskan diri pada usaha-usaha untuk memverifikasi (positivisme) tau memfalsifikasi (post-positivisme) berbagai hipotesis apriori, yang paling bermanfaat dinyatakan sebagai proposisi (kuantitatif) matematis. Ketepatan perumusan sangatlah bermanfaat ketika tujuan ilmu adalah untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena alam. Terakhir, juga dijumpai keyakinan yang tersebar luas bahwa hanya data kuantitatiflah yang paling sahih atau berkualitas tinggi (Sechrest, 1992).

B.     KRITIK TERHADAP PANDANGAN YANG DITERIMA
1)        Kritik Internal (Intraparadigma)
a.    Melepaskan Konteks : berbagai pendekatan eksak kuantitatif yang memfokuskan diri pda satuan-satuan kecil variabel secara otomatis ‘melepaskan’ dari pertimbangan, melalui kontrol yang tepat atau randomisasi, berbagai variabel lainnya yang ada dalam konteks yang boleh jadi, jika diberi peluang untuk memunculkan pengaruh-pengaruhnya, akan mengubah drastis temuan-temuan penelitian.
b.    Pengesampingan Makna dan Tujuan : perilaku manusia, berbeda dengan perilaku benda-benda fisik, tidak dapat dipahami tanpa mengacu pada makna dan tujuan yang dilekatkan oleh pelaku-pelaku manusia pada berbagai aktivitas mereka. Data kualitatif, diyakini, dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang perilaku manusia.
c.    Pemisahan Teori-Teori Utama dari Konteks Lokal: Dilema etik/emik : data kualitatif, diyakini, bermanfaat untuk menyingkap berbagai pandangan emik; teori-teori, agar bisa menjadi sahih, harus didasarkan secara kualitatif (Glaser & Strauss, 1967; Strauss & Corbin, 1990).
d.    Tidak Dapat Diterapkannya Data Umum pada Kasus-Kasus Individual : generalisasi, meskipun secara statistik mungkin sangat berarti, tidak dapat diterapkan pada kasus individual (fakta, katakanlah, bahwa 80% individu-individu yang memperlihatkan gejala-gejala tertentu mengidap kanker paru-paru sebagus-bagusnya merupakan bukti yang tidak sempurna untuk menyatakan bahwa seorang pasien tertentu yang menunjukkan gejala-gejala seperti itu pasti mengidap kanker paru-paru). Data kualitatif, dipercaya, dapat membantu mencegah ambiguitas semacam itu.
e.    Pengesampingan Dimensi Penemuan dalam Penelitian : menurut ‘pandangan yang diterima’, hanya penelitian empiriklah yang layak disebut ‘ilmu pengetahuan.’ Dengan demikian, metodologi normatif kuantitatif lebih diistimewakan daripada pandangan para pemikir yang kreatif dan divergen.
2)        Kritik Eksternal
a.    Fakta yang Sarat-Teori : agar sebuah penelitian dapat objektif, maka berbagai hipotesis harus dinyatakan dengan cara-cara yang terlepas dari cara pengumpulan fakta-fakta untuk menguji hipotesis tersebut. Namun, saat ini tampaknya diyakini tanpa keraguan bahwa teori dan fakta sebenarnya saling bergantung, yakni bahwa fakta itu disebut fakta (jika) ada dalam kerangka teori.
b.    Lemahnya Determinasi Teori : kerangka-kerangka teori yang berbeda bisa jadi sama-sama didukung dengan baik oleh sederet ‘fakta’ yang sama.
c.    Fakta yang Sarat-Nilai : ‘fakta-fakta’ dugaan tidak hanya dipandang melalui jendela teori saja, namun juga jendela nilai. Sikap bebas-nilai dari pandangan yang diterima pun dipertanyakan.
d.    Sifat Saling Memengaruhi antara Peneliti-Yang Diteliti : pandangan ilmu pengetahuan yang diterima menggambarkan peneliti sebagai sosok yang berdiri di belakang cermin satu arah, memandang fenomena alamiah apa adanya dan mencatatnya secara objektif. Peneliti (ketika menggunakan metodologi yang tepat) tidak memengaruhi fenomena ataupun sebaliknya.

C.     SIFAT PARADIGMA
1)        Paradigma sebagai Sistem Kepercayaan Dasar yang Didasarkan pada Asumsi-Asumsi Ontologis, Epistemologis, dan Metodologis
a.    Pertanyaan Ontologis : apakah bentuk dan sifat realitas dan, oleh karena itu, apakah yang ada disana yang dapat diketahui tentangnya? Jika diasumsikan, sesuatu yang dapat diketahui tentangnya merupakan ‘bagaimana keadaan dan cara kerja segala sesuatu itu yang sesungguhnya.’
b.    Pertanyaan Epistomologis : apakah sifat hubungan yang terjalin antara yang mengetahui atau calon yang mengetahui dengan sesuatu yang dapat diketahui? Diasumsikan, sikap yang mengetahui haruslah berupa sikap keterpisahan objektif atau bebas-nilai agar mampu menemukan ‘bagaimana keadaan dan cara kerja segala sesuatu itu yang sesungguhnya.’
c.    Pertanyaan Metodologis : apa saja yang ditempuh peneliti untuk menemukan apapun yang ia percaya dapat diketahui? Diasumsikan, sebuah realitas ‘nyata’ yang dikaji oleh seorang peneliti yang ‘objektif’ memberikan kontrol terhadap faktor-faktor yang mungkin campur aduk, apakah metode tersebut kualitatif atau kuantitatif.
2)        Paradigma sebagai Konstruksi Manusia
Sederet jawaban yang diberikan dipandang dari semua sisi adalah konstruksi manusia (sederet jawaban tersebut adalah ciptaan pikiran manusia dan karenanya tunduk pada kesalahan manusia. Tidak ada konstruksi yang benar atau dapat menjadi benar tanpa memunculkan perdebatan; para pendukung konstruksi apapun harus lebih bersandar pada sifat kepahaman dan kemanfaatan daripada pembuktian dalam mempertahankan posisi mereka.

D.      KEPERCAYAAN-KEPERCAYAAN DASAR DALAM ‘PARADIGMA PENELITIAN YANG DITERIMA’ DAN PARADIGMA PENELITIAN ALTERNATIF
1)    Terma positivisme mengacu pada ‘pandangan yang diterima’ yang telah mendominasi wacana formal dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu fisik selama kira-kira 400 tahun.
2)    Terma post-positivisme mewakili upaya-upaya beberapa dasawarsa lalu untuk memberikan jawaban secara terbatas terhadap kritik yang paling problematis dalam positivisme.
3)    Terma teori kritis (menurut kami) adalah sebuah terma umum yang mengacu pada beberapa paradigma alternatif, yang mencakup didalamnya neo-Marxisme, feminisme, materialisme, dan penelitian partisipatif.

Tabel 6.1
Kepercayaan Dasar (Metafisika) dari Paradigma-Paradigma Penelitian Alternatif

Item
Positivisme
Post-positivisme
Teori Kritis dkk.
Konstruktivisme
Ontologi
Realisme naif-realitas ‘nyata’
namun bisa dipahami
Realisme kritis-realitas ‘nyata’
namun hanya bisa dipahami secara tidak sempurna dan probabilistik
Realisme historis-realitas maya yang dibentuk oleh nilai sosial, politik, ekonomi, etnik dan gender;
mengkristal seiring perjalanan waktu
Relativisme-realitas yang dikonstruksikan secara lokal dan spesifik
Epistemologi
Dualis/ objektivisme;
temuan yang benar
Dualis/objetivis yang dimodifikasi;
tradisi/komunitas kritis;
Temuan yang mungkin benar
Transaksional/
subjektivis;
temuan diperantai oleh nilai
Transaksional/
subjektivis;
temuan yang diciptakan
Metodologi
Eksperimental/
manipulatif;
verifikasi hipotesis;
Terutama metode-metode kuantitatif
Eksperimental/
manipulatif yang dimodifikasi;
keragaman kritis;
falsifikasi hipotesis;
bisa jadi meliputi metode kualitatif
Dialogis/dialektis
Hermeneutis/
Dialektis

E.       ANALISIS INTRAPARADIGMA (Tabel 6.1)
1)   Kolom 1 : Positivisme
a.    Ontologi : sebuah realitas yang bisa dipahami diasumsikan hadir, yang dikendalikan oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang tak dapat diubah.
b.    Epistemologi : peneliti dan ‘objek’ yang diteliti dianggap sebagai entitas yang terpisah, sedangkan peneliti dipandang mampu mempelajari objek tanpa memengaruhi atau dipengaruhi olehnya.
c.    Metodologi : pertanyaan dan/atau hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi dan tunduk pada pengujian empiris untuk memverifikasikannya; kondisi-kondisi yang berpeluang mengacaukan harus dikontrol secara hati-hati / dimanipulasi guna mencegah terpengaruhnya hasil-hasil penelitian secara tidak tepat.
2)   Kolom 2 : Post-positivisme
a.    Ontologi : realitas diasumsikan ada, namun tidak bisa dipahami secara sempurna karena pada dasarnya mekanisme intelektual manusia memiliki kekurangan, sedangkan fenomena tak mudah diatur.
b.    Epistemologi : dualisme sudah banyak ditinggalkan karena tidak mungkin lagi untuk dipertahankan, sedangkan objektivitas tetap menjadi ‘cita-cita pemandu.’
c.    Metodologi : penekanan diberikan pada ‘keragaman kritis’ sebagai satu cara untuk memfalsifikasi hipotesis.
3)   Kolom 3 : Teori Kritis dan Posisi Ideologis Terkait
a.    Ontologi : sebuah realitas dianggap bisa dipahami, pernah suatu ketika berciri lentur, namun, dari waktu ke waktu dibentuk oleh serangkaian faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, dan gender, yang kemudian mengkristal ke dalam serangkaian struktur yang saat ini dipandang ‘nyata,’ yakni, alamiah dan abadi.
b.    Epistemologi : peneliti dan objek yang diteliti terhubung secara interaktif dengan nilai-nilai peneliti, memengaruhi penelitian secara tak terhindarkan.
c.    Metodologi : membutuhkan dialog antara peneliti dan subjek-subjek penelitian; dialog tersebut haruslah berciri dialektis agar dapat mengubah ketidaktahuan dan kesalahpahaman menjadi kesadaran yang lebih mendalam/matang.
4)   Kolom 4 : Konstruktivisme
a.    Ontologi : realitas bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindra, yang didasarkan secara sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik.
b.    Epistemologi : peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal balik sehingga ‘hasil-hasil penelitian’ terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian.
c.    Metodologi : sifat variabel dan personal dari konstruksi sosial menunjukkan bahwa konstruksi individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di antara peneliti dengan para responden.

F.     ANALISIS LINTAS PARADIGMA (Tabel 6.1)
1)   Baris 1 : Ontologi
Peralihan dari :
a.    Posisi positivisme pada realisme naif, yang mengasumsikan sebuah realitas eksternal objektif yang dapat didekati/dicapai oleh penelitian; menuju ke
b.    Realisme kritis post-positivisme, yang masih megasumsikan sebuah realitas objektif namun menerima bahwa realitas tersebut hanya dapat dipahami secara tidak sempurna dan probabilistik; ke
c.    Realisme historis teori kritis, yang mengasumsikan sebuah realita yang dapat dipahami yang terdiri atas aneka struktur yang terposisikan secara historis yang tanpa hadirnya pemahaman, sama-sama membatasi dan mengungkungnya (sehingga) seolah-olah nyata; ke
d.    Relativisme konstruktivisme, yang mengasumsikan realita sosial yang bermacam-macam, bisa dipahami, dan kadang-kadang bertentangan yang merupakan olah cipta pikiran manusia, namun yang dapat berubah seiring dengan semakin matang dan canggihnya penciptanya (manusia).
2)   Baris 2 : Epistemologi
Peralihan dari :
a.    Asumsi dualis dan objektivis positivisme yang memungkinkan peneliti untuk menentukan ‘bagaimana keadaan segala sesuatu itu yang sesungguhnya’ dan ‘bagaimana cara kerja segala sesuatu itu yang sesungguhnya’; ke
b.    Asumsi ualis/objektivis post-positivisme yang dimodifikasi yang memungkinkan upaya untuk mendekati realitas (namun tidak pernah mengetahuinya secara penuh); ke
c.    Asumsi transaksional/subjektivis teori kritis yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu diperantarai oleh nilai dan karenanya bergantung nilai; ke
d.    Asumsi transaksional/subjektivis konstruktivisme yang agak mirip, namun lebih luas yang melihat ilmu pengetahuan tercipta melalui proses interaksi antara peneliti dengan para responden.
3)   Baris 3 : Metodologi
Peralihan dari :
a.    Metodologi eksperimental/manipulatif positivisme yang memfokuskan diri pada verifikasi hipotesis; ke
b.    Metodologi eksperimental/manipulatif post-positivisme yang dimodifikasi yang terselubung dalam bentuk keragaman kritis yang memfokuskan diri pada falsifikasi hipotesis; ke
c.    Metodologi dialogis/dialektis teori kritis yang dimaksudkan untuk merekonstruksi berbagai konstruksi yang dipegang sebelumnya; ke
d.    Metodologi hermeneutis/dialektis konstruktivisme yang dimaksudkan untuk merekonstruksi berbagai konstruksi yang dipegang sebelumnya.

G.      BERBAGAI IMPLIKASI MASING-MASING POSISI PARADIGMA TERHADAP MASALAH-MASALAH PRAKTIS PILIHAN (Tabel 6.2)
Empat isu yang pertama (tujuan penelitian, sifat pengetahuan, akumulasi pengetahuan, dan kriteria kualitas) : bagian persoalan yang dianggap penting terutama oleh kaum positivis dan post-positivis.
Isu kelima dan keenam (nilai dan etika) : dipandang secara serius oleh semua paradigma.
Terakhir, empat isu yang terakhir (suara, pelatihan, akomodasi, dan hegemoni) : dianggap penting terutama oleh para penganut paradigma alternatif, dipandang rentan terkait dengan ‘pandangan yang diterima.’
1)   Baris 1 : Apakah maksud atau tujuan penelitian?
a.    Positivisme dan Post-positivisme. Menjelaskan (von Wright, 1971), yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena, benda fisik atau manusia. Kriteria kemajuan puncak : kemampuan ‘ilmuwan’ untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya berkembang dari waktu ke waktu.
b.    Teori Kritis. Kritik dan transformasi struktur sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender yang mengekang serta menindas umat manusia, melalui keterlibatan dalam upaya perlawanan, bahkan konflik. Kriteria kemajuannya : pemulihan dan emansipasi sebaiknya terjadi dan terus berlangsung sepanjang waktu.
c.    Konstruktivisme. Memahami dan merekonstruksi berbagai konstruksi yang sebelumnya dipegang orang (termasuk peneliti), yang berusaha ke arah konsensus namun masih terbuka bagi interpretasi baru seiring dengan perkembangan informasi dan kecanggihan. Kriteria kemajuannya : seiring dengan perjalanan waktu, setiap orang akan merumuskan konstruksi yang lebih matang dan canggih dan semakin menyadari isi dan makna dari berbagai konstruksi yang bersaing.
2)   Deret 2 : Apakah yang menjadi sifat ilmu pengetahuan?
a.    Positivisme. Terdiri atas berbagai hipotesis yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum.
b.    Post-positivisme. Terdiri atas berbagai hipotesis yang tak dapat digugurkan dan dapat dipandang sebagai fakta atau hukum.
c.    Teori Kritis. Terdiri atas sekumpulan wawasan struktural/historis yang hendak ditransformasikan seiring berjalannya waktu.
d.    Konstruktivisme. Terdiri atas berbagai konstruksi yang memiliki konsensus relatif di antara pihak-pihak yang berkompeten untuk menginterpretasikan isi konstruksi.
3)   Deret 3 : Bagaimana ilmu pengetahuan mengalami akumulasi?
a.    Positivisme dan Post-positivisme. Melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta berperan sebagai semacam bahan pembentuk.
b.    Teori Kritis. Tidak berakumulasi dalam pengertian mutlak; melainkan tumbuh dan berubah melalui proses revisi historis yang berlangsung secara dialektis yang secara berkelanjutan mengikis ketidaktahuan dan kesalahpahaman.
c.    Konstruktivisme. Melalui pembentukan berbagai konstruksi yang semakin matang dan canggih melalui proses hermeneutis/dialektis.
4)   Baris 4 : Apakah kriteria yang layak dipakai untuk menilai kebaikan atau kualitas sebuah penelitian?
a.    Positivisme dan Post-positivisme. Standar ‘keketatan’ konvensional: validitas internal, eksternal, reliabilitas, dan objektivitas.
b.    Teori Kritis. Keterposisian historis penelitian, mempertimbangkan gejala awal sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender, batas yang memungkinkan tindakan penelitian dalam mengikir ketidaktahuan dan kesalahpahaman.
c.    Konstruktivisme. Kriteria kelayakan kredibilitas, sifat dapat dipindahkan, dependabilitas, dan konfirmabilitas; dan kriteria keotentikan kewajaran, ontologis, edukatif, katalitis, dan taktis.
5)   Baris 5 : Apakah peran nilai dalam penelitian?
a.    Positivisme dan Post-positivisme. Nilai secara spesifik dikesampingkan; keduanya diklaim ‘bebas nilai.’ Nilai dipandang sebagai variabel yang mengacaukan.
b.    Teori Kritis dan Konstruktivisme. Menempati posisi penting; nilai dipandang sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari dalam membentuk hasil penelitian.
6)   Baris 6 : Apakah fungsi dan peran etika dalam penelitian?
a.    Positivisme dan Post-positivisme. Merupakan pertimbangan penting dan diperhatikan secara serius oleh para peneliti, namun masih berciri intrinsik.
b.    Teori Kritis. Hampir lebih berciri intrinsik; peneliti menjadi penyingkap misteri, bukan penipu.
c.    Konstruktivisme. Intrinsik karena penyertaan nilai-nilai partisipan dalam penelitian.
7)   Baris 7 : ‘Suara’ apakah yang disorot dalam aktivitas peneliti, terutama aktivitas yang diarahkan menuju perubahan?
a.    Positivisme da Post-positivisme. Suara peneliti adalah uara ‘ilmuwan yang tak memihak.’
b.    Teori Kritis. Suara peneliti adalah suara ‘intelektual transformatif’ (Giroux, 1988).
c.    Konstruktivisme. Suara peneliti adalah suara ‘partisipan yang penuh empati/semangat’ (Lincoln, 1991).
8)   Baris 8 : Apa saja implikasi masing-masing paradigma terhadap pelatihan para peneliti baru?
a.    Positivisme. Terutama menyangkut pengetahuan teknis tentang pengukuran, desain, dan berbagai metode kuantitatif, dengan penekanan penting atas teori-teori formal tentang fenomena dalam kekhususan substantifnya.
b.    Post-positivisme. Dengan cara mirip gaya kaum positivis, dengan tambahan berbagai metode kualitatif.
c.    Teori Kritis dan Konstruktivisme. Diperkenalkan ulang dengan ‘pandangan ilmu pengetahuan yang diterima,’ berbagai sikap dan teknik yang berlaku pada positivisme dan post-positivisme, menghargai perbedaan paradigma (Tabel 6.1), menguasai metode kualitatif sekaligus kuantitatif.
9)   Baris 9 : Apakah berbagai paradigma di atas selalu mengalami konflik? Apakah mungkin untuk menyatukan pandangan yang berbeda-beda ini ke dalam sau kerangka konseptual tunggal?
a.    Positivisme dan Post-positivisme. Dengan mempertimbangkan orientasi fundamental mereka, berpandangan bahwa semua paradigma dapat diakomodasi.
b.    Teori Kritis dan Konstruktivisme. Mereka setuju bahwa positivisme dan post-positivisme bisa disepadankan, dan kemungkinan juga setuju bahwa teori kritis dan konstruktivisme bisa disepadankan.
10)    Baris 10 : Paradigma manakah yang memegang hegemoni atas paradigma yang lain? Yaitu, manakah yang lebih besar pengaruhnya?
a.    Positivisme dan Post-positivisme. Penganut positivisme memegang hegemoni selama beberapa abad yang lalu, namun jubah hegemoni tersebut pada dasawarsa belakangan ini telah berpindah ke kaum post-positivis, pewaris ‘alami’ positivisme.
b.    Teori Kritis dan Konstruktivisme. Mereka masih mencari pengakuan dan sumber masukan dana.

Daftar Pustaka


Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Comments

  1. could you send me your english version?

    ReplyDelete
    Replies
    1. please kindly click one of the flags on "translate this page" for another language, thank you

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kutipan Langsung dan Tidak Langsung, dan Innote

KESANTUNAN DALAM BAHASA INDONESIA

Soal dan Jawaban MODEL KOMUNIKASI MASSA