UAS ETIKA PROFESI
TANGGUNG JAWAB MEDIA TERHADAP BERITA YANG TIDAK
BERMORAL
Tugas Ujian
Akhir Semester Etika Profesi

Di susun Oleh :
Mar’atul
Hanifah
(14030111130040)
PROGRAM STUDI S-I ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK (FISIP)
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
JAWABAN
1. Judul
Berita : Ironi “Kegigihan”
Aceng Fikri.
SK
: Suara
Merdeka.
Tanggal
Penerbitan : Selasa, 29 Januari 2013.
Jumlah
Kolom : 6 kolom.
Pelaku
: Aceng Fikri.
Peran
: Pejabat yang
melakukan pernikahan kilat secara siri.
Sasaran
: Fany Octora dan kekuasaan
jabatan.
2.
Ironi “kegigihan”melawan pemakzulan.
Dalam
falsafah Jawa, tiga elemen : “harta, tahta, dan wanita adalah puncak gegayuhan ambisi seseorang”. Ketika
memburu ketiga elemen itu, ia akan cenderung gigih mempertahankannya walaupun
mengorbankan “aspek-aspek pribadi”.
Wartawan
di sini memang membuat berita secara objektif, karena ia terkesan ingin
menjatuhkan Aceng Fikri sebagai tersangka. Meski dalam kenyataannya memang
demikian.
3.
Karena tekanan dari Gubernur Jawa Barat
Ahmad Heryawan, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, hingga Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono tidak membuat sang Bupati “takut” atau “malu”. Bahkan sejak
awal hingga putusan final Mahkamah Agung, bupati itu yakin tidak bersalah dan
merasa masih mendapat dukungan rakyat. Ia juga merasa tidak melanggar hukum,
karena pernikahannya sah secara agama.
4.
Tidak ada yang protes terhadap berita
tersebut, karena mayoritas masyarakat justru setuju dengan isi berita itu, dan
mendukung keadilan hukum. Tak hanya masyarakat umum, bahkan beberapa pejabat
yang mengenal Aceng Fikri pun hingga mengeluarkannya dari caleg partainya.
Berita tersebut juga dinilai cukup kritis dalam menanggapi kasus Bupati Aceng
Fikri, sehingga dapat meningkatkan kekritisan pembacanya. Peran media tersebut
juga sangat membantu dalam upaya meningkatkan kesadaran hukum.
Banyak
negara yang membedakan dalam undang-undang antara perlakuan oleh pers atas
pemangku jabatan publik dan perlakuan atas pribadi warga masyarakat. Pembedaan
ini memang perlu, karena publik memiliki hak yang lebih luas untuk mendapat
informasi mengenai tindakan pejabat publik daripada pribadi warga masyarakat
(Strategi memberantas korupsi: elemen sistem integritas nasional, Jeremy Pope)
5.
Bisa, karena pada dasarnya dalam berita
tersebut juga memberi pengetahuan pada masyarakat dan terjawab
keingintahuannya. Untuk kontrol sosial agar tidak terus terulang kejadian yang
sama pada pejabat lain. Serta secara tidak langsung mengandung fungsi hiburan
bagi masyarakat umum dengan bahasanya yang tidak kaku.
Yang
bertanggung jawab adalah wartawan yang menulis berita, redaksi yang bertanggung
jawab penuh terhaap berita yang dikeluarkan oleh media, serta editor yang
seharusnya lebih peka dalam pemilahan kata yang digunakan wartawan.
Namun
sejauh ini, sanksi yang dijatuhkan oleh pengadilan dapat demikian beratnya
sehingga menghancurkan semua kecuali wartawan dan penerbit yang kaya (Strategi
memberantas korupsi: elemen sistem integritas nasional, Jeremy Pope).
Apalagi
perusahaan pers seringkali merasa cukup hanya dengan meminta maaf atas
kekeliruan dan kesalahan yang dilakukannya. Dalam beberapa kasus, memang ada
sajian pers Indonesia yang kemudian diralat secara besar-besaran atau dihentikannya
penayangannya sebagai akibat protes masyarakat. Namun, “ralat” dan
“penghentian” penayangan akibat munculnya “protes” itu ternyata bukan media
pembelajaran yang efektif bagi masyarakat dan perusahaan pers, sebab hal yang
sama selalu terulang dan terulang lagi. Meski kita memang tidak menginginkan
adanya perusahaan pers, baik cetak maupun elektronik yang dibredel oleh
pemerintah (Kewarganegaraan, Aim
Abdulkarim).
6.
Beberapa wartawan, seperti para
pengarang, menolak untuk disebut kaum profesional karena mereka lebih suka
memandang dirinya sebagai “pedagang”. Sejarah surat kabar mendukung penggunaan
istilah dalam arti itu. Di Amerika Serikat, surat kabar bermula sebagai sarana
propaganda politik dan ditujukan untuk menjual surat kabar sebanyak mungkin
untuk menarik iklan yang menguntungkan. Dengan demikian, sekelompok wartawan
menganggap diri sendiri sebagai profesi yang mendatangkan penderitaan bagi
mereka yang hidup enak dan hiburan bagi mereka yang menderita. Wartawan lain
berpegang pada sejarah untuk menyatakan bahwa mereka dan penerbit menulis dan
mencetak berita untuk menjual surat kabar, bukan untuk menguntungkan
masyarakat. Di sinilah letak perbedaan yang berarti antara jurnalisme dan
ketiga profesi liberal. Sementara para dokter, pengacara, dan pelayan rohani
kadang-kadang mempertanyak apakah anggotanya bertindak secara profesional,
kelompok-kelompok seperti seniman atau penulis tidak pernah mempertanyakan
praktek mereka itu profesi ataukah sesuatu seperti yang lain seperti keterampilan
atau perdagangan.
Profesi tidak sama seperti dagang,
seperti “menolong klien” tidak sama dengan “menjamin hasil yang dicari klien”.
Pedagang melakukan pekerjaan, tugas yang secara relatif ditetapkan dengan baik
dalam pembicaaan sebelumnya dengan orang yang menyetujui kontrak atau
perjanjian pekerjaan.Pedagang memiliki daftar pertanyaan dan harga yang baku
untuk pekerjaan yang berbeda-beda.Pedagang dibicarakan sebagai “pelaku
kerja”,karena memproduksi hasil secara tetap, seperti yang diinginkan sebagai
tujuan dagang. Sedangkan kaum professional bukanlah pelaksana kerja karena
tugas yang mereka lakukan dirumuskan dalam dan melalui pembicaraan dengan
klien. Wartawan ingin disebut pedagang karena sebelum melakukan wawancara, biasanya
wartawan membuat suatu perjanjian pada narasumber untuk kelangsungan hasil
wawancara tersebut, baik akan disiarkan di media atau sebatas off the record.
Dan wartawan harus menjalankan tugas sesuai dengan perjanjian-perjanjian yang
telah disepakati oleh keduanya. Sedangkan kaum professional seperti dokter,
akan melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur-prosedur atau hukum kedokteran
(Landasan Etika Profesi, Daryl Koehn)
7.
Memberikan bukti-bukti nyata yang
menyatakan bahwa berita itu bukan sekedar sensasi belaka, seperti bukti hukum
yang mengaturnya, agar masyarakat tahu bahwa ada hukum yang menentang kejadian
tersebut.
Jangan hanya
berisi opini atau pendapat pribadi wartawan saja, tetapi juga setidaknya ada
kutipan-kutipan wawancara dengan pihak terkait.
Daftar Pustaka :
Abdulkarim, Aim. 2008.
Kewarganegaraan. Bandung: PT Grafindo
Media Pratama.
Koehn,
Daryl. 2000. Landasan Etika profesi.
Yogyakarta: Kanisius.
Pope, Jeremy. 2003. Strategi memberantas korupsi: elemen sistem
integritas nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Comments
Post a Comment