Posts

Showing posts from March, 2009

puisi [9]

Hati itu seputih dan sebersih kertas Bila dosa mampu mengukir luka Pahala yang kan menghapusnya Bila siksa mampu merobek rasa Ampunan yang kan menyatukannya Bila kejahatan mampu membuatnya kasar Kebaikan yang akan menghaluskannya Bila kedustaan mampu menghitamkan Kejujuran yang kan membuatnya sebening salju Bila kenistaan mampu menggelapkan Kesucian yang kan meneranginya Dan hanya cinta yang mampu menghiasinya Memberikan keindahan pada tiap sudut kertas Dengan kasih sayang

puisi [8]

Masa lalu di bakar masa depan Masa depan di bakar keburukan Keburukan di bakar kenistaan Kenistaan di bakar kejahatan Kejahatan di bakar dosa Dosa di bakar neraka Neraka di bakar siksa Namun siksa di bakar ampunan Yang Kuasa

puisi [7]

Hanya berteman bayang Seoprang gadis melangkah tanpa tujuan Ia hanya berharap Ada seseorang yang menantinya Hanya berteman raga Ia raih kenistaan Dan sesuatu yang tak ingin ia lakukan Tapi itu harus Hanya berteman lampu rendah Siksa kian merajalela Meski tak dapat ia terjang Namun masih terus coba tegar Hanya berteman dosa Ia hadang masa depan Tuk raih kehancuran Ia relakan kesucian

puisi [6]

Pernahkah kau tanyakan pada kakimu Kemana saja ia pergi ? Sempatkah kau tanyakan pada tanganmu Apa yang telah ia genggam ? Adakah waktu kau tanyakan pada matamu Apa saja yang telah ia lihat ? Mungkinkah kau tanyakan pada telingamu Apa yang pernah ia dengar ? Apakah dapat kau tanyakan pada bibirmu Kata-kata apa saja yang terucap ? Bisakah kau tanyakan pada hidungmu Apa yang telah ia hirup ? Dan kapan akan kau tanyakan pada hatimu Apa dan siapa yang tersimpan di dalamnya ?

puisi [5]

Saat mentari tak lagi bersinar Angin tak lagi berhembus Awan tak lagi berjalan Dan hujan tak lagi menangis Di sini.. Aku hanya merasakan kehancuran Tiap detik jam memekakkan telinga Rintik hujan menghujam euforia Angin sepoi menghantam raga Terik mentari membakar kesucian Dan hamparan bumi membutakan hati..

puisi [4]

Di saat waktu tak lagi tersisa Ku hanya berdiri menanti hari Menanti angin yang hembuskan luka Dan hujan yang menitikkan dusta Di saat waktu tak lagi tercipta Ingin kuukir masa laluku yang suram Dengan tinta merah darah Dan kertas hitam lebam Di saat waktu tak lagi ada Kan kuhentikan jam yang berputar Dan kan kuhambat takdir yang tertulis Agar tak lagi menorehkan sikasa Di saat waktu tak lagi berjalan Takkan ku biarkan dosa kembali menghadang Dan kan ku bakar masa laluku Dengan bara api cinta..

puisi [4]

Di saat waktu tak lagi tersisa Ku hanya berdiri menanti hari Menanti angin yang hembuskan luka Dan hujan yang menitikkan dusta Di saat waktu tak lagi tercipta Ingin kuukir masa laluku yang suram Dengan tinta merah darah Dan kertas hitam lebam Di saat waktu tak lagi ada Kan kuhentikan jam yang berputar Dan kan kuhambat takdir yang tertulis Agar tak lagi menorehkan sikasa Di saat waktu tak lagi berjalan Takkan ku biarkan dosa kembali menghadang Dan kan ku bakar masa laluku Dengan bara api cinta..

puisi [3]

Dalam sinar sang mentari Seorang gadis berdiri tegak Berharap angannya Telah terjamah oleh bintang tadi malam Dengan semangat ia hentakkan kaki Menuju tempat terindah di dunia ini Berharap angannya Telah tersampaikan pada seseorang di sana Terik mentari mulai tinggi Namun ia tetap bertahan Berharap angannya Telah membuat seseorang di sana bahagia Titik hujan mulai menghujam Namun hatinya menghalangi Berharap angannya Indah tercipta Petir mulai menyambut Si gadis tetap bercabang pada niatnya Dan berharap angannya Membawa keberkahan Hingga ia mencapai surga itu Menanti seseorang datang padanya Dan berharap angannya Memihak padanya Namun seekor burung berbisik “Ia telah pergi” “Dan takkan kembali” Namun sang gadis tetap memegang angannya Dan berharap itu bukan fakta Dan dalam cerahan sang bulan Si gadis hanya terbaring tak berdaya Berharap sang bintang Membalikkan semua ini Namun hingga embun mula

puisi [2]

Jutaan bintang bertabur pada malam Bagai pasir di tepian pantai Namun seribu bintang hilang Musnah.. Aku melangkah menghiasi tanah Mengikuti jejak sang bulan yang mulai hilang Kuharap.. di ujung jalan itu Kan kutemukan seribu bintang Rintik hujan yang mulai menghujam Menemani alunan hentakan kaki ini Yang tak jua henti Pada sebuah titik Malam ini.. Dalam dahaga dan rasa lapar Ku tak ingin hentikan jihad ini Karena cinta Illahi yang kucari Namun kini.. Rembulan telah hentikan langkahnya Dan hilang dari bayangnya Kenapa ? Detik ini kurasa bumi telah berhenti berputar Karena aku bingung Aku sedang dimana Dan hendak kemana ? Kumulai bertekuk lutut pada awan Aku bersujud.. Kuharap Tuhan masih mencintaiku Meski kini aku buta arah Tanah pun mulai basah oleh air mata Bukan air hujan yang sedari tadi temaniku Karena semuanya telah pergi Pergi tuk tinggalkanku Namun aku tak kan berharap Robb jua kan tingg

puisi [1]

Di tengah liku kehidupan Mentari masih saja menerangi alam Angin sepoi tak henti berbisik Dan hujan tak lagi tertahan pada awan Masih terlihat Bayangmu menghiasi gedung itu Masih terdengar Suaramu mengalunkan syair lagu Masih terlintas Senyummu di antara awan di ujung gedung Masih tergores Indahnya memory saat kau pijakkan kaki Masih tersentuh Tapak kaki dan tanganmu Masih terasa Hembusan nafas dan detak jantungmu Masih terbayang Permainan melodi-melodi gitar itu Masih terucap Semua tentangmu Dan masih tersisa Hati ini untuk kau bawa pergi jauh

puisi

Jeritan Indonesia Hari gelap menaungi bintang berkelap Berteman alunan melodi hujan Bercahaya lampu di sudut kalbu Beralaskan tanah beratap gundah Terpecah rindu oleh angin menderu Sumpah-sumpah palsu kian menyeru Menjanjikan yang tak kan terbuktikan Bertiang baja Beratap kaca Beralas harta Ombak lautan menantang kematian Menikam dengan sembilu palu Kandas.. Bersama desah jantung sang munafik Jika laku tak lagi bermakna Haruskah air mata hiasi doa Teguk masa depan dalam dekapan Menelan kata-kata palsu tak berharga Tanggalkan kemewahan Untuk jiwa-jiwa yang telanjang memenuhi trotoar Tanggalkan kemunafikan Demi masa depan sang merah putih Indonesia..

GADIS MARET

Seorang gadis duduk termangu Ia hadir dalam kelambu sendu Tak dikenal Dan tak terkenal Sendiri .. Hanya berteman sebatang korek basah Tuk terangi malam mendung Tanpa rembulan Ku ingat di saat awal bulan ia datang Tanpa arah Tanpa tujuan .. Beralas tanah Beratap awan .. Namun di saat akhir bulan menjelma Sosoknya yang menawan tak lagi ada Entah kemana .. Jejak langkah pun tak tercipta Detik-detik kian cepat berlalu dalam menit Menit-menit pun semakin menjauhi hari Hingga bulan itu kembali hadir Dan bayang-bayang raganya pun menghiasi Entah ini rindu atau sebatas simpati Namun kehadirannya .. Seakan menghiasi hari-hariku di bulan itu Melengkapi kenangan indahku di bulan itu Ya .. hanya di bulan itu Hanya di bulan maret ..

UNTITLED POEM

[1] Tangisan hujan meredam malam Menghujam euforia masa lalu Dengan syahdu mimpi menemani Bersama raga seorang diri Angin sepoi menghempas raga bak bermain Hilir mudik mencari angan sepi Hingga kembali sendiri Tanpa jiwa di kanan kiri Terhias malam oleh tarian bintang Melengkapi alunan langkah hujan Menuruni gurun pasir Menghadang fatamorgana Tertatap jelas .. Masa lalu yang penuh keakraban Tawa dan rasa yang menghiasi hari Di tiap sudut hati ini Namun kini .. Hanya terbekas angan dalam memory [2] Dalam kesunyian liku kehidupan Awan mendung menambah kegelisahan Angin sepoi memberikan sentuhan Membuatku terpaku, terpana .. Ingin kuhembuskan kata euforia dalam hidupku Namun kegundahan masih menyelimuti badan Dan kini aku berselimut keraguan .. Beralas ketakutan .. Dan beratap kematian .. Kapan kesucian ini mampu meredam amarah ? Aku takut .. Aku tak mampu jika elegi hidup ini harus ku aru

My lovely family

Image
--> Kota Semarang penuh kebahagiaan [mungkin] saat lahirnya seorang bayi perempuan bernama lengkap Mar’atul Hanifah [yamg kini biasa di panggil U’ul] pada tanggal 1 Maret 1993 dari rahim seorang wanita beraparas cantik, aktif dan sangat tidak suka akan pekerjaan yang hanya setengah-setengah, kelahiran tanggal 25 Desember 1963 di Rembang bernama Eny Winaryati. Beliau adalah salah satu penulis puisi terkenal pada abad ini yang menjabat sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Semarang [UNIMUS] dan sekaligus menjabat sebagai istri dari seorang dosen yang juga di UNIMUS, yang diciptakan sebagai seorang penerus Adam sejak tanggal 12 Juni 1962 dari kota Pekalongan dalam naungan Bani Harun, yaitu Setia Iriyanto. Ketika bayi tersebut memasuki sebuah rumah di Jl. Fatmawati X Semarang , sesekali terdengar campuran tangis dan tawa 2 gadis kecil yang menyelimuti rumah mungil itu. Saat di tengok, ternyata gadis kecil berusia 5 tahun yang menyandang nama Hanifatur Rosyidah [Hani

puisi singkat tanpa judul

[1] Kenapa angin tiada berhenti Rembulan tiada sendiri Mentari tiada menyejukkan Dan malam tiada menghangatkan Tanyakan pada malam Dimana mimpi di hembuskan ? Dan tanyakan Pada alam Dimana kasih sayang di tegakkan [2] Cinta itu seindah persahabatan Seperti Ikal dan Lintang.. Cinta itu semerdu deretan nada Seperti Mahar dengan musiknya.. Cinta itu berawal dari hal terkecil Seperti Ikal dan Alin yang menyatu dari sebatang kapur.. Cinta itu sebuah penorbanan Seperti Bu Muslihah yang rela mengajar tanpa gaji.. Cinta itu kerelaan untuk mewasa kehilangan Seperti Ikal yang kehilangan Lintang dan Alin Seperti Lintang dan Bu Muslihah yang kehilangan ayahnya.. Namun yang terpenting adalah.. Cinta telah membuad hidup ini berwarna-warni.. Seperti "Laskar Pelangi"..

Surat Dari Bunda

Gubuk kecil tak layak singgah Sebatas lingkup cahaya bulan Kehangatan pelukan bunda Buatku terlelap dalam dekap kasih sayang Pagi buta ku layangkan mata Entah ada yang kurang di gubuk ini Tapi apa ? aku tak tahu Mulai ku ayunkan kaki Mencari yang telah hilang di sini Namun masih belum ku temukan Hingga senja selimuti hari Malam dingin berselimut angin Mengapa kian terasa kekurangan itu ? Dan setelah sekian lama ku jalankan kembali otakku Akhirnya ku menemukan keganjalan itu Terlihat secarik kertas buram Ku buka lipatannya perlahan Dan mulai ku baca Ternyata itu sebuah surat pamit Surat dari bunda Ia hanya ingin pergi ke kota Demi secuil makanan untukku